Snippet

HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT DALAM PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) MAKALAH Oleh M. ARY IRAWAN, M.Pd NOVEMBER 2012 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1 1.1 Latar belakang ................................................... 1 1. 2 Permasalahan ................................................... 4 1. 3 Tujuan ................................................................. 4 BAB II PEMBAHASAN ......................................................... ........... 6 2.1 Konsep manajemen berbasis sekolah ................. 6 2. 2 Implementasi manajemen berbasis sekolah ........ 7 2. 3 Efektifitas, efesiensi dan produktifitas ..................15 2. 4 MBS sebagai proses pemberdayaan .................. 16 2. 5 Hubungan sekolah dan masyarakat ................... 18 BAB III PENUTUP ................................................................ . 20 3.1 Kesimpulan .......................................................... 20 DAFTAR RUJUKAN BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, MBS didefinisikan sebagai “bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Inti dari MBS adalah partisipasi masyarakat, pendapat tersebut sangat masuk akal sebab komite sekolah yang menjadi instrumen kunci dalam implementasi MBS memang terdiri dari elemen-elemen yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, misalnya seperti orang tua peserta didik dan masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah. Dasar hukum pelaksanaan MBS adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Sementara itu, Depdiknas memberikan 10 alasan dibalik pemberlakuan kebijakan MBS, sebagai berikut : 1. Bila sekolah memiliki otonomi yang lebih besar maka sekolah akan lebih leluasa dalam mengekspresikan keaktifan atau kreatifitasnya dalam meningkatkan mutu sekolah; 2. Bila sekolah memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam mengelola sumber dayanya maka sekolah akan lebih lincah dalam memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah; 3. Bila sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada maka sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam memajukan sekolah; 4. Bila sekolah lebih mengetahui input pendidikan lembaganya maka sekolah dapat mendayagunakannya dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik; 5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolah; 6. Bila masyarakat sekitar sekolah mengontrol penggunaan sumber daya pendidikan maka penggunaannya akan menjadi lebih efektif dan efisien; 7. Bila seluruh warga sekolah dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah maka akan tercipta transparansi dan demokrasi yang sehat; 8. Bila sekolah bertanggung jawab secara langsung terhadap orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah akan berupaya secara optimal dalam pelaksanaan pencapaian mutu pendidikan yang telah direncanakan; 9. Dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lainnya dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya yang lebih inovatif; 10. Sekolah dapat melakukan respon yang lebih cepat terhadap aspirasi masyarakat yang berubah dengan cepat Dari kesepuluh alasan yang dikemukakan oleh Depdiknas tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pemberlakuan kebijakan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan melalui model pengelolaan sekolah yang lebih demokratis. Secara empiris, memang MBS perlu diimplementasikan sebab model pengelolaan sekolah secara sentralistis yang telah cukup lama diterapkan terbukti kurang mengakomodasi kebutuhan sekolah, menumpulkan daya kreatifitas sekolah, dan mengikis habis sense of belonging warga sekolah terhadap sekolahnya. Walaupun kebijakan mengenai implementasi MBS secara nasional baru ditetapkan pada tahun 2000 oleh pemerintah secara konseptual, MBS bukanlah hal baru di Indonesia. Sistem pendidikan pesantren, telah lama mengedepankan partisipasi masyarakat, bahkan sistem ini telah berlangsung selama berabad-abad sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Santri yang belajar di pesantren diharuskan menginap dalam pondok-pondok yang biasanya berada di sekitar rumah kiai pemilik pesantren tanpa dipungut bayaran sepeser pun, sebab dalam agama Islam tidak diperkenankan untuk meminta bayaran atas penyebaran agama Islam. Sehingga pembiayaan pendidikan santri didapatkan oleh para kiai pemilik pesantren dari panen dari orang tua santri maupun zakat yang dibayarkan oleh masyarakat sekitar pesantren pada kiai tersebut. Bahkan setelah Indonesia merdeka pun, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lembaga pendidikan sangat kental terasa, seolah hal tersebut memang bagian dari kultur masyarakat di negeri ini. Sekitar tahun 1950-1960an, masyarakat bergotong-royong dalam pembangunan gedung-gedung sekolah yang rusak akibat peperangan dan juga merelakan rumah tinggalnya sebagai tempat belajar para peserta didik yang kehilangan gedung sekolahnya , Sudjanto menambahkan bahwa pada masa itu, sekolah didirikan dan dikelola sendiri oleh masyarakat, namun setelah orde baru berkuasa, sekolah-sekolah tersebut digantikan oleh sekolah buatan pemerintah yang mengalih fungsikan sekolah sebagai alat hegemoni untuk indoktrinasi nilai-nilai yang dibawa oleh pemerintah orde baru . Sehingga, nilai-nilai MBS versi lama ini pun akhirnya terkubur. Dan membangkitkannya kembali pada masa yang sekarang ini tidaklah semudah mengeluarkan kebijakan mengenai MBS, sebab hegemoni puluhan tahun yang telah mengebiri otonomi individu dan golongan, membutuhkan waktu peralihan yang tidak sebentar menuju MBS yang berprinsip demokratisasi. Hal inilah yang menjadi alasan utama, mengapa implementasi MBS di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang harusnya diraih. Pada penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar, konsep MBS yang banyak diterapkan oleh sekolah adalah konsep MBS yang digulirkan oleh proyek UNESCO dan UNICEF. Sementara pada penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah, yaitu pada SMP dan SMU, konsep yang digunakan adalah MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) gubahan proyek ADB. 1.2 Permasalahan Setelah banyak fakta yang mengungkap bagaimana MBS selama ini diterapkan bagi sebuah sekolah ada beberapa hal yang perlu dikaji sehingga MBS benar-benar bisa terlaksana sebagai wujud dari otonomi untuk sekolah. Adapun permasalahan permasalahan tersebut sebagai berikut : 1. Konsep dasar manajemen berbasis sekolah 2. Implementasi manajemen berbasis sekolah 3. Efektifitas, efisiensi dan produktifitas manajemen berbasis sekolah 4. MBS sebagai proses pemberdayaan. 5. Hubungan sekolah dan masyarakat 1.3 Tujuan Tujuan dari makalah ini, yaitu meningkatkan semua kinerja sekolah seperti mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, pemerataan, dan akses pendidikan, dibandingkan dengan MPMBS yang lebih difokuskan pada peningkatan mutu dengan asumsi bahwa mutu pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan Cukup banyak fakta yang memperjelas inkonsistensi dan komitmen setengah hati dari pemerintah akan kebijakan pemberlakukan MBS. Sebab secara logika, implementasi kebijakan ini tentunya akan semakin mempersempit ruang hegemoni pemerintah terhadap lembaga pendidikan. Namun, setelah dikaji secara mendalam, ternyata banyak sekali keuntungan yang didapat oleh pemerintah dari pemberlakuan kebijakan MBS. Keuntungan pertama adalah pengubahan image pemerintah di mata masyarakat yang seolah-olah pemerintah mulai memberikan keleluasaan bagi masyarakat dalam hal pengelolaan penyelenggaraan pendidikan walaupun kenyataannya hal tersebut tidak demikian adanya. Secara eksplisit pemerintah mengobral kata ‘desentralisasi dan otonomi pendidikan’ dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara implisit telah semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dan sekolah dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan melalui peraturan perundang-undangan. Keuntungan kedua adalah kucuran dana yang berlimpah dari berbagai proyek implementasi MBS dari berbagai lembaga donor asing, yang transparansi penggunaannya tidak tersosialisasikan secara luas sehingga malah membuka kesempatan untuk berperilaku korup. Cukup tidak masuk akal bila sekolah masih tetap saja menarik berbagai macam pungutan liar pada orang tua peserta didik melainkan lebih dari itu. Memang sangatlah tidak patut kiranya, ada orang-orang yang ‘hidup dari pendidikan’ dan bukannya ‘hidup untuk pendidikan. BAB II PEMBAHASAN 2.1. Konsep manajemen berbasis sekolah MBS yang merupakan terjemahan langsung dari school based management adalah sebuah konsep alternatif dalam pengelolaan sekolah yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Konsep ini digunakan untuk menggantikan model pengelolaan sekolah yang selama puluhan tahun kinerjanya dianggap telah gagal dalam memenuhi tuntutan masyarakat sekolah akan perubahan (Irawan, dkk, 2004). Istilah MBS mulai diperdengarkan di Indonesia pada tahun 1994 pada sosialisasi kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Jika dicermati, waktu kemunculan MBS pada tahun 1994 ini bersamaan dengan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap Agreement Establising the World Trade Organization melalui penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 (Setiawan, 2006). Dan wacana industrialisasi jasa pendidikan pada masa itu telah berkembang menjadi implementasi yang menghasilkan keuntungan berlipat bagi negara-negara maju yang menjadi anggota WTO. Hingga pada akhirnya perjuangan Amerika Serikat, Australia, dan Inggris, dalam perundingan GATS tahun 2003 untuk memasukkan jasa pendidikan sebagai barang dagangan menjadi keputusan resmi WTO dalam perundingan tersebut (Setiawan, 2006). Implikasinya, pemerintah Indonesia yang juga telah menjadi anggota WTO, mau tidak mau harus menjalankan keputusan mengenai liberalisasi pendidikan. Komitmen pemerintah atas keputusan WTO tersebut segera dituangkan dalam UU Sisdiknas yang dirampungkan pada tahun yang sama, salah satunya dalam pasal 51 ayat 1, yang menjadi dasar hukum pelaksanaan MBS. Memang dalam MBS, sekolah dituntut untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, namun partisipasi disini ternyata hanya diartikan secara sempit, yaitu berupa kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam hal pembiayaan sekolah (Irawan, dkk, 2006). Poin inilah yang akhirnya memperkuat alasan bahwa pemerintah memang cukup berkomitmen dengan keputusan WTO dalam hal liberalisasi pendidikan, sebabnya, walaupun secara konseptual MBS memang terkesan begitu ‘membela’ masyarakat namun sebenarnya lambat laun pemerintah berusaha melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pembiayaan pendidikan secara penuh dengan sedikit demi sedikit mengalihkan pembiayaannya pada masyarakat yang notabene memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara gratis tanpa menanggung biaya sepeser pun (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 11 ayat 2). Tujuan MBS adalah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan tekhnologi dan diharapkan dapat dijadikan landasan dalam mengembangkan pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan secara makro, meso dan mikro. Manfaat MBS adalah memberikan keleluasaan dan kekuasaan yang besar pada sekolah disertai seperangkat tanggung jawab. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penerapan MBS adalah : 1. Kewajiban sekolah 2. Kebijakan dan prioritas pemerintah 3. Peranan orang tua dan masyarakat 4. Peranan Profesionalisme dan manajerial 5. Pengembangan profesi 2. 2. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Pada kenyataannya implementasi MBS hanya difokuskan pada pengadaan Komite Sekolah yang dianggap sebagai instrumen kunci implementasi MBS, bukan pada tujuan implementasi MBS yang semestinya, yaitu meningkatnya mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah. Hal ini terbukti dari pembuatan kebijakan pemberlakuan MBS yang berpola top down dan tidak partisipatif, bahkan disertai dengan ancaman tidak akan mendapatkan bantuan dari Dinas Pendidikan bila sekolah yang bersangkutan tidak mengimplementasikan MBS. Fakta yang memperlihatkan bahwa setelah bertahun-tahun kebijakan pemberlakuan MBS digulirkan, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia tidak kunjung menunjukkan peningkatan mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah Pemerintah cenderung semakin otoriter dengan memberlakukan berbagai macam aturan hingga hal-hal teknis seperti jadwal rapat komite sekolah dan apa saja yang dapat dibahas oleh komite sekolah dan sekolah (Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan). Hal tersebut sangatlah ironis, mengingat alasan Depdiknas dibalik bergulirnya kebijakan MBS adalah untuk memberikan keleluasaan bagi sekolah dalam melakukan pengelolaan sekolah bersama masyarakat. Namun bila dicermati dari perspektif legal basis, akan sangat banyak ditemukan aturan-aturan yang kontradiktif satu sama lain, bahkan juga terjadi antar pasal dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Padahal peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi dasar hukum yang dapat memberikan jaminan atas segala pelaksanaan kegiatan pendidikan, termasuk diantaranya implementasi MBS. Ada beberapa faktor yang menyebabkan bahwa penerapan MBS sangat sulit untuk dilaksanakan antara lain : 1. Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru untuk terlibat dalam pengembangan MBS disebabkan karena mereka sudah terbiasa dan terpola dengan model manajemen lama yang begitu sentralistis, walaupun mereka sudah mendapatkan petunjuk mengenai implementasi MBS secara teknis. Selain itu, guru juga kurang memahami bagaimana melakukan sinergi antara MBS dengan proses belajar mengajar di kelas. 2. Penerapan MBS dipahami oleh kepala sekolah hanya sebatas membentuk Komite Sekolah sebagai pengganti BP3 dan dijadikan alat untuk melegitimasi mengambil keputusan untuk menaikkan SPP dan iuran lainnya seperti sumbangan pembangunan gapura, pagar, gedung sekolah, dan lain-lain. 3. Kultur masyarakat yang masih begitu feodalistik sehingga sulit untuk menjalankan aktifitas yang demokratis. Masyarakat yang telah terbunuh karakter dan kreatifitasnya selama puluhan tahun dibawah rezim yang otoriter, tentu akan mengalami kesulitan yang teramat sangat bila diberikan keleluasaan dalam bertindak sebab mereka telah terbiasa hidup dibawah panduan. Partisipasi masyarakat di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga tidak mengherankan bila Jack Snyder menggolongkan Indonesia dalam kategori ‘negara yang sedang menuju demokrasi’. 4. Hegemoni pemerintah terhadap segala bentuk kehidupan masyarakat; Prinsip MBS memang pengelolaan pendidikan secara desentralisasi, namun kenyataannya jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pendidikan hingga bagian paling teknis sekalipun, justru semakin banyak, yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan konsep MBS, misalnya antara UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan. 5. Intervensi pihak asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan kepentingan. Penerbitan kebijakan pendidikan berbasis ketersediaan proyek lembaga donor asing sudah bukan temuan baru lagi. Fakta mengungkapkan puluhan proyek MBS yang digulirkan oleh lembaga donor asing ternyata dana totalnya mencapai puluhan trilyun rupiah. Implementasi MBS berbasis proyek menyebabkan penerapan MBS yang asal-asalan dan ala kadarnya, hanya sekedar untuk memenuhi target laporan. 6. Pemerintah tidak memiliki filsafat pendidikan yang jelas dalam gerak langkah pembangunan pendidikan di Indonesia. Hal ini menyebabkan kesimpangsiuran aktifitas yang terjadi di dunia pendidikan karena tidak adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat. Wacana ganti menteri ganti kebijakan’ sudah tak asing lagi bagi masyarakat, sebab kebanyakan elit pemerintah hanya memikirkan kepentingan dirinya semata. Cukup banyak kebijakan yang diberlakukan pemerintah dibuat tanpa melakukan asesmen secara akurat terhadap kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi, pengambilan keputusan dalam proses pembuatan kebijakan masih bersifat top down dan bukannya partisipatif dengan melibatkan masyarakat sebagai sasaran kebijakan. Untuk lebih memudahkan implementasi MBS bagi sekolah, ada beberapa hal yang harus dijadikan pijakan didalam menerapkan MBS tersebut. Adapun hal-hal yang memegang peranan penting adalah sebagai berikut : a) Kepemimpinan sekolah yang kuat Pada sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah memiliki peran sangat penting dalam mengkoordinasikan, meng-gerakan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program–program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah harus memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya sekolah, terutama sumber daya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah. Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi : tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan ketentuan aturan main yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai. b) Pengelolaan Tenaga kependidikan yang Efektif Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.Terlebih-lebih pada pengem-bangan tenaga kependidikan ini harus dilakukan secara terus menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment), kolaborasi dan sinergi, harus merupakan basis untuk kerjasama, warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, atmosfer keadilan (fairness) harus ditanamkan, imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya, dan warga sekolah merasa memiliki sekolah. c) Sekolah Memiliki “Teamwork “ Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh manajemen berbasis sekolah, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, kerjasama antara warga sekolah harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah. Untuk menjadi mandiri sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya. d) Sekolah Memiliki Keterbukaan (transparansi) manajemen Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah. Keterbukaa/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol. e) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpentig adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar disekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat pentig dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. f) Komunikasi yang Baik Sekolah yang efektif umumya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah ditentukan. g) Sumber Daya yang Memadai Sumber daya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumber daya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumber daya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan sebagainya) dengan penegasaan bahwa sumber daya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumber daya manusia. Secara umum, sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki tingkat kesiapan sumber daya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumber daya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumber daya yang ada di lingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumber daya yang ada disekitarnya. h) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi Sekolah yang efektif pada umumya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas yaitu bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan. i) Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan ) Pengelolaan fasilitas sesudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembagan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar. j) Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolaah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. k) Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehinggaa sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. l) Sekolah Memiliki Akuntabilitas Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerja dimasa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian program ini terutama kaitannya dengan peningkatan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secaraa keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggung jawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang. Dalam hal ini yang tidak kalah pentingnya didalam penerapan MBS adalah Lingkungan, adapun lingkungan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut, seperti penataan taman sekolah, lingkungan sekolah yang bersih, ventilasi ruangan, tidak bising, sopan santun interaksi antar orang, penggunaan sumber daya bersama, keamanan sekolah, kenyamanan sekolah dll. Iklim sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif. b) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat pastisipasi, makin besar rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut : a. Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut b. Mengetahui sumber daya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan c. Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya d. Bertanggung jawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah e. Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif,inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. 2. 3. Efektifitas, Efesiensi dan Produktifitas MBS Efektifitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Efektivitas MBS dapat dilihat dari teori sistem dan dimensi waktu. Berdasarkan teori sistem, kriteria efektifitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input, proses output serta harus mencerminkan hubungan timbal balik antara sekolah dan lingkungan sekitarnya. Adapun berdasarkan dimensi waktu efektifitas MBS dapat diamati dari jangka pendek, menengah dan panjang. Efesiensi pada MBS lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber daya yang minimal. Sedangkan Depdikbud (1989) membedakan efisiensi pendidikan menjadi efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjukkan perbandingan antara prestasi belajar dan masukan biaya pendidikan. Efisiensi eksternal yaitu perbandingan keuntungan finansial pendidikan, biasanya diukur dari penghasilan lulusan dengan seluruh jumlah dana yang dikeluarkan untuk pendidikannya. Dalam efisiensi pendidikan dapat ditentukan dari dua hal yaitu manajemen pendidikan yang profesional dan partisipasi dalam pengelolaan pendidikan yang meluas. Produktifitas dalam MBS berkaitan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sedangkan menurut Thomas (1982) produktifitas pendidikan ditinjau dari tiga dimensi yaitu : 1) Produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa baik dan seberapa besar layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan, baik oleh guru, kepsek, maupun pihak yang terkait. 2) produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh pesrta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu disekolah. 3) Produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Produktifitas MBS dapat dilakukan melalui : analisa efektifitas biaya, analisa baiaya minimal dan analisa manfaat. 2. 4. MBS sebagai proses pemberdayaan Ada delapan langkah pemberdayaan dalam kaitannya dengan MBS yaitu : 1. Menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan. 2. Mengidentifikasi dan membangun kelompok peserta didik di sekolah 3. Memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam implementasi MBS 4. Membentuk dewan sekolah, yang terdiri dari unsur sekolah, unsur masyarakat dibawah pengawasan pemerintah daerah 5. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan sekolah 6. Mendukung aktifitas kelompok yang tengah berjalan 7. Mengembangkan hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat 8. Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi Untuk dapat memahami dan menerapkan MBS sebagai proses pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu : 1. Peberdayaan berhubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol/kendali dengan prinsip : a) melakukan pembangunan yang bersifat lokal b) mengutamakan dan merupakan aksi sosial c) menggunakan pendekatan organisasi 2. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja dengan prinsip, a) manajemen yang swakelola oleh para guru dan kepsek, b) kepemilikan oleh masyarakat yaitu rasa memiliki, c) pemanatauan langsung oleh pemerintah daerah , d) tumbuhnya rasa kebersamaan, e) bekerja secara kolaborasi antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sekolah. 3. Menggunakan pendekatan partisipatif dengan prinsip : a) merumuskan tujuan bersama antara sekolah dan masyarakat, b) menyikapi MBS sebagai proses dialog, c) melakukan pembangunan sendiri. 4. Pendidikan untuk keadilan dengan prinsip : a) mengembangkan kesadaran kritis, b) menggunakan metode diskusi dalam kelompok kecil, c) menggunakan stimulus berupa masalah-masalah, d) menggunakan sarana, e) memusatkan perhatian pada pengembangan sistem sosial dari pada individu, f) penyelesaian konflik win win solution, g) menjalin hubungan antar manusia yang bersifa non hirarkis, dan h) menggunakan fasilitator yang komit terhadap kebebasan. Ciri ciri diatas merupakan tahapan dasar dalam MBS, sedangkan karakteristik dari pemberdayaan menurut Kindervatter adalah sebagai berikut : 1. Penyusunan kelompok kecil. 2. Pengalihan tanggung jawab 3. Pimpinan oleh para partisipan 4. Guru sebagai fasilitator 5. Proses bersifat demokratis dan hubungan kerja yang luwes 6. Merupakan integrasi antara refleksi dan aksi 7. Metode yang mendorong kepercayaan diri, metode yang digunakan bersifat meningkatkan keterlibatan aktif, dialog, dan aktifitas kelompok secara mandiri. 8. Meningkatkan derajat kemandirian sosial, ekonomi dan politik. 2. 5. Hubungan sekolah dan masyarakat Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Karena keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi perananannya di masa depan. Sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan tersebut. Hubungan sekolah dan masyarakat merupakan bentuk komunikasi ekstern yang dilakukan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Sekolah menghendaki agar peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, demikian juga masyarakat mengharapkan agar sekolah dapat menempa sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas sehingga dapat mengembangkan berbagai potensi masyarakat setelah kembali dan hidup bermasyarakat Tujuan hubungan sekolah dan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan kepentingan sekolah hubungan masyarakat bertujuan untuk : a. Memelihara kelangsungan hidup sekolah b. Meningkatkan mutu pendidikan disekolah c. Memperlancar kegiatan belajar mengajar di sekolah d. Memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah. Sedangkan kebutuhan masyarakat bertujuan untuk : a. Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat b. Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. c. Menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. d. Memperoleh kembali masyarakat yang terampil dan meningkat kemampuannya. Disamping tujuan diatas hubungan sekolah dengan masyarakat juga bertujuan untuk saling membantu, serta mengisi dan menggalang bantuan keuangan, bangunan serta barang. Esensi hubungan sekolah, masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah, masyarakat dari dahulu sudah disentralisasikan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah dan masyarakat. Sehingga pada akhirnya bahwa sekolah atau pendidikan yang bermutu itu berbasis masyarakat, untuk masyakat, dan keluaran sekolah akan kembali ke masyarakat. Dengan kata lain sekolah adalah tempat proses masyarakat untuk bisa kembali lagi ke masyarakat. BAB III PENUTUP 3.3. Kesimpulan MBS sendiri sebenarnya hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan, jadi yang dipentingkan adalah bagaimana melalui MBS tersebut tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga indikator ketercapaian MBS yang disyaratkan oleh Depdiknas seharusnya bukan ”ada atau tidaknya” Komite Sekolah, melainkan sejauh mana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan secara demokratis dapat meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Permasalahan yang banyak ditemui sebenarnya tidak terletak pada MBS secara konseptual sebab konsepnya memang sudah cukup baik. Bila dilihat dari kacamata asesmen kebutuhan, secara normatif implementasi MBS memang diperlukan, namun dengan status Indonesia yang masih NSMD (Negara Sedang Menuju Demokrasi), tentunya hal ini sangat sulit. Menghadapi mentalitas oknum-oknum pemerintah yang selalu membawa kepentingan individu dan golongan dalam menjalankan kewajibannya, tidaklah mudah. MBS sebagai produk kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah tentunya sangat sarat dengan kepentingan, sebab kebijakan adalah keputusan politik. Dan hal yang paling utama harus dilakukan sebelum mengimplementasikan MBS adalah pembenahan moralitas individu. Demi tercapainya tujuan MBS yaitu peningkatan mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah, maka seluruh pihak yang terkait, terutama pemerintah, Depdiknas, dan sekolah harus memurnikan niat mereka. Masyarakat pun juga harus lebih peduli dengan selalu memantau kinerja mereka secara proaktif, misalnya dengan bantuan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang sudah terpercaya. Selain itu, masyarakat juga harus secara aktif ikut serta dalam mencari segala bentuk informasi, sebab informasi yang akurat dan terpercaya tidak akan mudah diakses dan tidak akan datang dengan sendirinya. Sebagai penutup ada beberapa aspek penting yang harus dilakukan oleh sekolah dalam rangka mewujudkan manajemen berbasis sekolah. Aspek –aspek tersebut meliputi: (1) Perencanaan dan evaluasi program sekolah (2) Pengelolaan kurikulum (3) Pengelolaan proses belajar mengajar (4) Pengelolaan ketenagaan (5) Pengelolaan peralatan daan perlengkapan (6) Pengelolaan keuangan (7) Pelayanan siswa (8) Hubungan sekolah-masyarakat (9) Pengelolaan iklim sekolah. Semoga MBS tidak lagi menjadi sebuah wacana semata, tapi menjadi karakter khusus bagi sekolah, dengan sendirinya masyarakat akan percaya dan peduli dengan sekolah. DAFTAR RUJUKAN Mulyasa, E, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Tim Direkorat, 2001, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, jakarta : Penerbit Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Setiawan, 2006, Visi Baru Manajemen Sekolah, Jakarta : PT. Bumi Aksara. Irawan, Ade, 2004, Mendagangkan Sekolah, jakarta : Indonesia Corruption Watch.

Leave a Reply