Snippet

HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT DALAM PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) MAKALAH Oleh M. ARY IRAWAN, M.Pd NOVEMBER 2012 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1 1.1 Latar belakang ................................................... 1 1. 2 Permasalahan ................................................... 4 1. 3 Tujuan ................................................................. 4 BAB II PEMBAHASAN ......................................................... ........... 6 2.1 Konsep manajemen berbasis sekolah ................. 6 2. 2 Implementasi manajemen berbasis sekolah ........ 7 2. 3 Efektifitas, efesiensi dan produktifitas ..................15 2. 4 MBS sebagai proses pemberdayaan .................. 16 2. 5 Hubungan sekolah dan masyarakat ................... 18 BAB III PENUTUP ................................................................ . 20 3.1 Kesimpulan .......................................................... 20 DAFTAR RUJUKAN BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, MBS didefinisikan sebagai “bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Inti dari MBS adalah partisipasi masyarakat, pendapat tersebut sangat masuk akal sebab komite sekolah yang menjadi instrumen kunci dalam implementasi MBS memang terdiri dari elemen-elemen yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, misalnya seperti orang tua peserta didik dan masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah. Dasar hukum pelaksanaan MBS adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Sementara itu, Depdiknas memberikan 10 alasan dibalik pemberlakuan kebijakan MBS, sebagai berikut : 1. Bila sekolah memiliki otonomi yang lebih besar maka sekolah akan lebih leluasa dalam mengekspresikan keaktifan atau kreatifitasnya dalam meningkatkan mutu sekolah; 2. Bila sekolah memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam mengelola sumber dayanya maka sekolah akan lebih lincah dalam memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah; 3. Bila sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada maka sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam memajukan sekolah; 4. Bila sekolah lebih mengetahui input pendidikan lembaganya maka sekolah dapat mendayagunakannya dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik; 5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolah; 6. Bila masyarakat sekitar sekolah mengontrol penggunaan sumber daya pendidikan maka penggunaannya akan menjadi lebih efektif dan efisien; 7. Bila seluruh warga sekolah dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah maka akan tercipta transparansi dan demokrasi yang sehat; 8. Bila sekolah bertanggung jawab secara langsung terhadap orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah akan berupaya secara optimal dalam pelaksanaan pencapaian mutu pendidikan yang telah direncanakan; 9. Dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lainnya dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya yang lebih inovatif; 10. Sekolah dapat melakukan respon yang lebih cepat terhadap aspirasi masyarakat yang berubah dengan cepat Dari kesepuluh alasan yang dikemukakan oleh Depdiknas tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pemberlakuan kebijakan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan melalui model pengelolaan sekolah yang lebih demokratis. Secara empiris, memang MBS perlu diimplementasikan sebab model pengelolaan sekolah secara sentralistis yang telah cukup lama diterapkan terbukti kurang mengakomodasi kebutuhan sekolah, menumpulkan daya kreatifitas sekolah, dan mengikis habis sense of belonging warga sekolah terhadap sekolahnya. Walaupun kebijakan mengenai implementasi MBS secara nasional baru ditetapkan pada tahun 2000 oleh pemerintah secara konseptual, MBS bukanlah hal baru di Indonesia. Sistem pendidikan pesantren, telah lama mengedepankan partisipasi masyarakat, bahkan sistem ini telah berlangsung selama berabad-abad sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Santri yang belajar di pesantren diharuskan menginap dalam pondok-pondok yang biasanya berada di sekitar rumah kiai pemilik pesantren tanpa dipungut bayaran sepeser pun, sebab dalam agama Islam tidak diperkenankan untuk meminta bayaran atas penyebaran agama Islam. Sehingga pembiayaan pendidikan santri didapatkan oleh para kiai pemilik pesantren dari panen dari orang tua santri maupun zakat yang dibayarkan oleh masyarakat sekitar pesantren pada kiai tersebut. Bahkan setelah Indonesia merdeka pun, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lembaga pendidikan sangat kental terasa, seolah hal tersebut memang bagian dari kultur masyarakat di negeri ini. Sekitar tahun 1950-1960an, masyarakat bergotong-royong dalam pembangunan gedung-gedung sekolah yang rusak akibat peperangan dan juga merelakan rumah tinggalnya sebagai tempat belajar para peserta didik yang kehilangan gedung sekolahnya , Sudjanto menambahkan bahwa pada masa itu, sekolah didirikan dan dikelola sendiri oleh masyarakat, namun setelah orde baru berkuasa, sekolah-sekolah tersebut digantikan oleh sekolah buatan pemerintah yang mengalih fungsikan sekolah sebagai alat hegemoni untuk indoktrinasi nilai-nilai yang dibawa oleh pemerintah orde baru . Sehingga, nilai-nilai MBS versi lama ini pun akhirnya terkubur. Dan membangkitkannya kembali pada masa yang sekarang ini tidaklah semudah mengeluarkan kebijakan mengenai MBS, sebab hegemoni puluhan tahun yang telah mengebiri otonomi individu dan golongan, membutuhkan waktu peralihan yang tidak sebentar menuju MBS yang berprinsip demokratisasi. Hal inilah yang menjadi alasan utama, mengapa implementasi MBS di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang harusnya diraih. Pada penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar, konsep MBS yang banyak diterapkan oleh sekolah adalah konsep MBS yang digulirkan oleh proyek UNESCO dan UNICEF. Sementara pada penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah, yaitu pada SMP dan SMU, konsep yang digunakan adalah MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) gubahan proyek ADB. 1.2 Permasalahan Setelah banyak fakta yang mengungkap bagaimana MBS selama ini diterapkan bagi sebuah sekolah ada beberapa hal yang perlu dikaji sehingga MBS benar-benar bisa terlaksana sebagai wujud dari otonomi untuk sekolah. Adapun permasalahan permasalahan tersebut sebagai berikut : 1. Konsep dasar manajemen berbasis sekolah 2. Implementasi manajemen berbasis sekolah 3. Efektifitas, efisiensi dan produktifitas manajemen berbasis sekolah 4. MBS sebagai proses pemberdayaan. 5. Hubungan sekolah dan masyarakat 1.3 Tujuan Tujuan dari makalah ini, yaitu meningkatkan semua kinerja sekolah seperti mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, pemerataan, dan akses pendidikan, dibandingkan dengan MPMBS yang lebih difokuskan pada peningkatan mutu dengan asumsi bahwa mutu pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan Cukup banyak fakta yang memperjelas inkonsistensi dan komitmen setengah hati dari pemerintah akan kebijakan pemberlakukan MBS. Sebab secara logika, implementasi kebijakan ini tentunya akan semakin mempersempit ruang hegemoni pemerintah terhadap lembaga pendidikan. Namun, setelah dikaji secara mendalam, ternyata banyak sekali keuntungan yang didapat oleh pemerintah dari pemberlakuan kebijakan MBS. Keuntungan pertama adalah pengubahan image pemerintah di mata masyarakat yang seolah-olah pemerintah mulai memberikan keleluasaan bagi masyarakat dalam hal pengelolaan penyelenggaraan pendidikan walaupun kenyataannya hal tersebut tidak demikian adanya. Secara eksplisit pemerintah mengobral kata ‘desentralisasi dan otonomi pendidikan’ dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara implisit telah semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dan sekolah dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan melalui peraturan perundang-undangan. Keuntungan kedua adalah kucuran dana yang berlimpah dari berbagai proyek implementasi MBS dari berbagai lembaga donor asing, yang transparansi penggunaannya tidak tersosialisasikan secara luas sehingga malah membuka kesempatan untuk berperilaku korup. Cukup tidak masuk akal bila sekolah masih tetap saja menarik berbagai macam pungutan liar pada orang tua peserta didik melainkan lebih dari itu. Memang sangatlah tidak patut kiranya, ada orang-orang yang ‘hidup dari pendidikan’ dan bukannya ‘hidup untuk pendidikan. BAB II PEMBAHASAN 2.1. Konsep manajemen berbasis sekolah MBS yang merupakan terjemahan langsung dari school based management adalah sebuah konsep alternatif dalam pengelolaan sekolah yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Konsep ini digunakan untuk menggantikan model pengelolaan sekolah yang selama puluhan tahun kinerjanya dianggap telah gagal dalam memenuhi tuntutan masyarakat sekolah akan perubahan (Irawan, dkk, 2004). Istilah MBS mulai diperdengarkan di Indonesia pada tahun 1994 pada sosialisasi kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Jika dicermati, waktu kemunculan MBS pada tahun 1994 ini bersamaan dengan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap Agreement Establising the World Trade Organization melalui penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 (Setiawan, 2006). Dan wacana industrialisasi jasa pendidikan pada masa itu telah berkembang menjadi implementasi yang menghasilkan keuntungan berlipat bagi negara-negara maju yang menjadi anggota WTO. Hingga pada akhirnya perjuangan Amerika Serikat, Australia, dan Inggris, dalam perundingan GATS tahun 2003 untuk memasukkan jasa pendidikan sebagai barang dagangan menjadi keputusan resmi WTO dalam perundingan tersebut (Setiawan, 2006). Implikasinya, pemerintah Indonesia yang juga telah menjadi anggota WTO, mau tidak mau harus menjalankan keputusan mengenai liberalisasi pendidikan. Komitmen pemerintah atas keputusan WTO tersebut segera dituangkan dalam UU Sisdiknas yang dirampungkan pada tahun yang sama, salah satunya dalam pasal 51 ayat 1, yang menjadi dasar hukum pelaksanaan MBS. Memang dalam MBS, sekolah dituntut untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, namun partisipasi disini ternyata hanya diartikan secara sempit, yaitu berupa kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam hal pembiayaan sekolah (Irawan, dkk, 2006). Poin inilah yang akhirnya memperkuat alasan bahwa pemerintah memang cukup berkomitmen dengan keputusan WTO dalam hal liberalisasi pendidikan, sebabnya, walaupun secara konseptual MBS memang terkesan begitu ‘membela’ masyarakat namun sebenarnya lambat laun pemerintah berusaha melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pembiayaan pendidikan secara penuh dengan sedikit demi sedikit mengalihkan pembiayaannya pada masyarakat yang notabene memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara gratis tanpa menanggung biaya sepeser pun (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 11 ayat 2). Tujuan MBS adalah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan tekhnologi dan diharapkan dapat dijadikan landasan dalam mengembangkan pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan secara makro, meso dan mikro. Manfaat MBS adalah memberikan keleluasaan dan kekuasaan yang besar pada sekolah disertai seperangkat tanggung jawab. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penerapan MBS adalah : 1. Kewajiban sekolah 2. Kebijakan dan prioritas pemerintah 3. Peranan orang tua dan masyarakat 4. Peranan Profesionalisme dan manajerial 5. Pengembangan profesi 2. 2. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Pada kenyataannya implementasi MBS hanya difokuskan pada pengadaan Komite Sekolah yang dianggap sebagai instrumen kunci implementasi MBS, bukan pada tujuan implementasi MBS yang semestinya, yaitu meningkatnya mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah. Hal ini terbukti dari pembuatan kebijakan pemberlakuan MBS yang berpola top down dan tidak partisipatif, bahkan disertai dengan ancaman tidak akan mendapatkan bantuan dari Dinas Pendidikan bila sekolah yang bersangkutan tidak mengimplementasikan MBS. Fakta yang memperlihatkan bahwa setelah bertahun-tahun kebijakan pemberlakuan MBS digulirkan, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia tidak kunjung menunjukkan peningkatan mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah Pemerintah cenderung semakin otoriter dengan memberlakukan berbagai macam aturan hingga hal-hal teknis seperti jadwal rapat komite sekolah dan apa saja yang dapat dibahas oleh komite sekolah dan sekolah (Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan). Hal tersebut sangatlah ironis, mengingat alasan Depdiknas dibalik bergulirnya kebijakan MBS adalah untuk memberikan keleluasaan bagi sekolah dalam melakukan pengelolaan sekolah bersama masyarakat. Namun bila dicermati dari perspektif legal basis, akan sangat banyak ditemukan aturan-aturan yang kontradiktif satu sama lain, bahkan juga terjadi antar pasal dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Padahal peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi dasar hukum yang dapat memberikan jaminan atas segala pelaksanaan kegiatan pendidikan, termasuk diantaranya implementasi MBS. Ada beberapa faktor yang menyebabkan bahwa penerapan MBS sangat sulit untuk dilaksanakan antara lain : 1. Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru untuk terlibat dalam pengembangan MBS disebabkan karena mereka sudah terbiasa dan terpola dengan model manajemen lama yang begitu sentralistis, walaupun mereka sudah mendapatkan petunjuk mengenai implementasi MBS secara teknis. Selain itu, guru juga kurang memahami bagaimana melakukan sinergi antara MBS dengan proses belajar mengajar di kelas. 2. Penerapan MBS dipahami oleh kepala sekolah hanya sebatas membentuk Komite Sekolah sebagai pengganti BP3 dan dijadikan alat untuk melegitimasi mengambil keputusan untuk menaikkan SPP dan iuran lainnya seperti sumbangan pembangunan gapura, pagar, gedung sekolah, dan lain-lain. 3. Kultur masyarakat yang masih begitu feodalistik sehingga sulit untuk menjalankan aktifitas yang demokratis. Masyarakat yang telah terbunuh karakter dan kreatifitasnya selama puluhan tahun dibawah rezim yang otoriter, tentu akan mengalami kesulitan yang teramat sangat bila diberikan keleluasaan dalam bertindak sebab mereka telah terbiasa hidup dibawah panduan. Partisipasi masyarakat di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga tidak mengherankan bila Jack Snyder menggolongkan Indonesia dalam kategori ‘negara yang sedang menuju demokrasi’. 4. Hegemoni pemerintah terhadap segala bentuk kehidupan masyarakat; Prinsip MBS memang pengelolaan pendidikan secara desentralisasi, namun kenyataannya jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pendidikan hingga bagian paling teknis sekalipun, justru semakin banyak, yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan konsep MBS, misalnya antara UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan. 5. Intervensi pihak asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan kepentingan. Penerbitan kebijakan pendidikan berbasis ketersediaan proyek lembaga donor asing sudah bukan temuan baru lagi. Fakta mengungkapkan puluhan proyek MBS yang digulirkan oleh lembaga donor asing ternyata dana totalnya mencapai puluhan trilyun rupiah. Implementasi MBS berbasis proyek menyebabkan penerapan MBS yang asal-asalan dan ala kadarnya, hanya sekedar untuk memenuhi target laporan. 6. Pemerintah tidak memiliki filsafat pendidikan yang jelas dalam gerak langkah pembangunan pendidikan di Indonesia. Hal ini menyebabkan kesimpangsiuran aktifitas yang terjadi di dunia pendidikan karena tidak adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat. Wacana ganti menteri ganti kebijakan’ sudah tak asing lagi bagi masyarakat, sebab kebanyakan elit pemerintah hanya memikirkan kepentingan dirinya semata. Cukup banyak kebijakan yang diberlakukan pemerintah dibuat tanpa melakukan asesmen secara akurat terhadap kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi, pengambilan keputusan dalam proses pembuatan kebijakan masih bersifat top down dan bukannya partisipatif dengan melibatkan masyarakat sebagai sasaran kebijakan. Untuk lebih memudahkan implementasi MBS bagi sekolah, ada beberapa hal yang harus dijadikan pijakan didalam menerapkan MBS tersebut. Adapun hal-hal yang memegang peranan penting adalah sebagai berikut : a) Kepemimpinan sekolah yang kuat Pada sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah memiliki peran sangat penting dalam mengkoordinasikan, meng-gerakan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program–program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah harus memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya sekolah, terutama sumber daya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah. Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi : tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan ketentuan aturan main yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai. b) Pengelolaan Tenaga kependidikan yang Efektif Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.Terlebih-lebih pada pengem-bangan tenaga kependidikan ini harus dilakukan secara terus menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment), kolaborasi dan sinergi, harus merupakan basis untuk kerjasama, warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, atmosfer keadilan (fairness) harus ditanamkan, imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya, dan warga sekolah merasa memiliki sekolah. c) Sekolah Memiliki “Teamwork “ Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh manajemen berbasis sekolah, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, kerjasama antara warga sekolah harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah. Untuk menjadi mandiri sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya. d) Sekolah Memiliki Keterbukaan (transparansi) manajemen Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah. Keterbukaa/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol. e) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpentig adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar disekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat pentig dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. f) Komunikasi yang Baik Sekolah yang efektif umumya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah ditentukan. g) Sumber Daya yang Memadai Sumber daya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumber daya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumber daya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan sebagainya) dengan penegasaan bahwa sumber daya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumber daya manusia. Secara umum, sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki tingkat kesiapan sumber daya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumber daya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumber daya yang ada di lingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumber daya yang ada disekitarnya. h) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi Sekolah yang efektif pada umumya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas yaitu bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan. i) Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan ) Pengelolaan fasilitas sesudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembagan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar. j) Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolaah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. k) Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehinggaa sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. l) Sekolah Memiliki Akuntabilitas Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerja dimasa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian program ini terutama kaitannya dengan peningkatan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secaraa keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggung jawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang. Dalam hal ini yang tidak kalah pentingnya didalam penerapan MBS adalah Lingkungan, adapun lingkungan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut, seperti penataan taman sekolah, lingkungan sekolah yang bersih, ventilasi ruangan, tidak bising, sopan santun interaksi antar orang, penggunaan sumber daya bersama, keamanan sekolah, kenyamanan sekolah dll. Iklim sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif. b) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat pastisipasi, makin besar rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut : a. Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut b. Mengetahui sumber daya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan c. Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya d. Bertanggung jawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah e. Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif,inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. 2. 3. Efektifitas, Efesiensi dan Produktifitas MBS Efektifitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Efektivitas MBS dapat dilihat dari teori sistem dan dimensi waktu. Berdasarkan teori sistem, kriteria efektifitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input, proses output serta harus mencerminkan hubungan timbal balik antara sekolah dan lingkungan sekitarnya. Adapun berdasarkan dimensi waktu efektifitas MBS dapat diamati dari jangka pendek, menengah dan panjang. Efesiensi pada MBS lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber daya yang minimal. Sedangkan Depdikbud (1989) membedakan efisiensi pendidikan menjadi efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjukkan perbandingan antara prestasi belajar dan masukan biaya pendidikan. Efisiensi eksternal yaitu perbandingan keuntungan finansial pendidikan, biasanya diukur dari penghasilan lulusan dengan seluruh jumlah dana yang dikeluarkan untuk pendidikannya. Dalam efisiensi pendidikan dapat ditentukan dari dua hal yaitu manajemen pendidikan yang profesional dan partisipasi dalam pengelolaan pendidikan yang meluas. Produktifitas dalam MBS berkaitan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sedangkan menurut Thomas (1982) produktifitas pendidikan ditinjau dari tiga dimensi yaitu : 1) Produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa baik dan seberapa besar layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan, baik oleh guru, kepsek, maupun pihak yang terkait. 2) produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh pesrta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu disekolah. 3) Produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Produktifitas MBS dapat dilakukan melalui : analisa efektifitas biaya, analisa baiaya minimal dan analisa manfaat. 2. 4. MBS sebagai proses pemberdayaan Ada delapan langkah pemberdayaan dalam kaitannya dengan MBS yaitu : 1. Menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan. 2. Mengidentifikasi dan membangun kelompok peserta didik di sekolah 3. Memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam implementasi MBS 4. Membentuk dewan sekolah, yang terdiri dari unsur sekolah, unsur masyarakat dibawah pengawasan pemerintah daerah 5. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan sekolah 6. Mendukung aktifitas kelompok yang tengah berjalan 7. Mengembangkan hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat 8. Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi Untuk dapat memahami dan menerapkan MBS sebagai proses pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu : 1. Peberdayaan berhubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol/kendali dengan prinsip : a) melakukan pembangunan yang bersifat lokal b) mengutamakan dan merupakan aksi sosial c) menggunakan pendekatan organisasi 2. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja dengan prinsip, a) manajemen yang swakelola oleh para guru dan kepsek, b) kepemilikan oleh masyarakat yaitu rasa memiliki, c) pemanatauan langsung oleh pemerintah daerah , d) tumbuhnya rasa kebersamaan, e) bekerja secara kolaborasi antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sekolah. 3. Menggunakan pendekatan partisipatif dengan prinsip : a) merumuskan tujuan bersama antara sekolah dan masyarakat, b) menyikapi MBS sebagai proses dialog, c) melakukan pembangunan sendiri. 4. Pendidikan untuk keadilan dengan prinsip : a) mengembangkan kesadaran kritis, b) menggunakan metode diskusi dalam kelompok kecil, c) menggunakan stimulus berupa masalah-masalah, d) menggunakan sarana, e) memusatkan perhatian pada pengembangan sistem sosial dari pada individu, f) penyelesaian konflik win win solution, g) menjalin hubungan antar manusia yang bersifa non hirarkis, dan h) menggunakan fasilitator yang komit terhadap kebebasan. Ciri ciri diatas merupakan tahapan dasar dalam MBS, sedangkan karakteristik dari pemberdayaan menurut Kindervatter adalah sebagai berikut : 1. Penyusunan kelompok kecil. 2. Pengalihan tanggung jawab 3. Pimpinan oleh para partisipan 4. Guru sebagai fasilitator 5. Proses bersifat demokratis dan hubungan kerja yang luwes 6. Merupakan integrasi antara refleksi dan aksi 7. Metode yang mendorong kepercayaan diri, metode yang digunakan bersifat meningkatkan keterlibatan aktif, dialog, dan aktifitas kelompok secara mandiri. 8. Meningkatkan derajat kemandirian sosial, ekonomi dan politik. 2. 5. Hubungan sekolah dan masyarakat Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Karena keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi perananannya di masa depan. Sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan tersebut. Hubungan sekolah dan masyarakat merupakan bentuk komunikasi ekstern yang dilakukan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Sekolah menghendaki agar peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, demikian juga masyarakat mengharapkan agar sekolah dapat menempa sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas sehingga dapat mengembangkan berbagai potensi masyarakat setelah kembali dan hidup bermasyarakat Tujuan hubungan sekolah dan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan kepentingan sekolah hubungan masyarakat bertujuan untuk : a. Memelihara kelangsungan hidup sekolah b. Meningkatkan mutu pendidikan disekolah c. Memperlancar kegiatan belajar mengajar di sekolah d. Memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah. Sedangkan kebutuhan masyarakat bertujuan untuk : a. Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat b. Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. c. Menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. d. Memperoleh kembali masyarakat yang terampil dan meningkat kemampuannya. Disamping tujuan diatas hubungan sekolah dengan masyarakat juga bertujuan untuk saling membantu, serta mengisi dan menggalang bantuan keuangan, bangunan serta barang. Esensi hubungan sekolah, masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah, masyarakat dari dahulu sudah disentralisasikan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah dan masyarakat. Sehingga pada akhirnya bahwa sekolah atau pendidikan yang bermutu itu berbasis masyarakat, untuk masyakat, dan keluaran sekolah akan kembali ke masyarakat. Dengan kata lain sekolah adalah tempat proses masyarakat untuk bisa kembali lagi ke masyarakat. BAB III PENUTUP 3.3. Kesimpulan MBS sendiri sebenarnya hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan, jadi yang dipentingkan adalah bagaimana melalui MBS tersebut tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga indikator ketercapaian MBS yang disyaratkan oleh Depdiknas seharusnya bukan ”ada atau tidaknya” Komite Sekolah, melainkan sejauh mana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan secara demokratis dapat meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Permasalahan yang banyak ditemui sebenarnya tidak terletak pada MBS secara konseptual sebab konsepnya memang sudah cukup baik. Bila dilihat dari kacamata asesmen kebutuhan, secara normatif implementasi MBS memang diperlukan, namun dengan status Indonesia yang masih NSMD (Negara Sedang Menuju Demokrasi), tentunya hal ini sangat sulit. Menghadapi mentalitas oknum-oknum pemerintah yang selalu membawa kepentingan individu dan golongan dalam menjalankan kewajibannya, tidaklah mudah. MBS sebagai produk kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah tentunya sangat sarat dengan kepentingan, sebab kebijakan adalah keputusan politik. Dan hal yang paling utama harus dilakukan sebelum mengimplementasikan MBS adalah pembenahan moralitas individu. Demi tercapainya tujuan MBS yaitu peningkatan mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah, maka seluruh pihak yang terkait, terutama pemerintah, Depdiknas, dan sekolah harus memurnikan niat mereka. Masyarakat pun juga harus lebih peduli dengan selalu memantau kinerja mereka secara proaktif, misalnya dengan bantuan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang sudah terpercaya. Selain itu, masyarakat juga harus secara aktif ikut serta dalam mencari segala bentuk informasi, sebab informasi yang akurat dan terpercaya tidak akan mudah diakses dan tidak akan datang dengan sendirinya. Sebagai penutup ada beberapa aspek penting yang harus dilakukan oleh sekolah dalam rangka mewujudkan manajemen berbasis sekolah. Aspek –aspek tersebut meliputi: (1) Perencanaan dan evaluasi program sekolah (2) Pengelolaan kurikulum (3) Pengelolaan proses belajar mengajar (4) Pengelolaan ketenagaan (5) Pengelolaan peralatan daan perlengkapan (6) Pengelolaan keuangan (7) Pelayanan siswa (8) Hubungan sekolah-masyarakat (9) Pengelolaan iklim sekolah. Semoga MBS tidak lagi menjadi sebuah wacana semata, tapi menjadi karakter khusus bagi sekolah, dengan sendirinya masyarakat akan percaya dan peduli dengan sekolah. DAFTAR RUJUKAN Mulyasa, E, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Tim Direkorat, 2001, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, jakarta : Penerbit Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Setiawan, 2006, Visi Baru Manajemen Sekolah, Jakarta : PT. Bumi Aksara. Irawan, Ade, 2004, Mendagangkan Sekolah, jakarta : Indonesia Corruption Watch.

PROFESI GURU Pendahuluan Guru adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme, sebagaimana divisualisasikan di bawah ini: (Sumber: Bulletin PPPG Tertulis, Edisi September 2002: 19) Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1). Lantas, acuan normatif ini ditindaklanjuti dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1, angka 1: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/kekosongan/kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan "surat tugas" dari kepala sekolah. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lemahnya profesi guru di Indonesia. Adapun kelemahan-kelemahan lainnya yang terdapat dalam profesi keguruan di Indonesia, antara lain berupa: (1) Masih rendahnya kualifikasi pendidikan guru dan tenaga kependidikan; (2) Sistem pendidikan dan tenaga kependidikan yang belum terpadu; (3) Organisasi profesi yang rapuh; serta (4) Sistem imbalan dan penghargaan yang kurang memadai. Payung Hukum Profesi Guru Akhirnya, setelah 60 tahun Indonesia merdeka, bangsa kita mempunyai sebuah undang-undang (UU) mengenai profesi guru. Hal ini ditandai dengan disahkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 30 Desember 2005, serta diundangkan dalam Lembaga Negara RI tahun 2005 nomor 157. Sungguh sebuah perjuangan yang teramat berat dan melelahkan di mana sejak tahun 1999 Depdiknas bekerja sama dengan Pengurus Besar PGRI merancang naskah akademis dan rancangan undang-undang (semula bernama RUU Guru), kemudian untuk mengakomodasi dosen (sebutan guru di perguruan tinggi) berubah menjadi RUU Guru dan Dosen. Meskipun sebelumnya telah disosialisasikan serta memperoleh masukan dan tanggapan secara luas dari para guru dan dosen, para pengelola pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota, organisasi profesi, kalangan akademisi, perguruan tinggi, dan lain-lain; namun secara praksis UU Guru dan Dosen masih menyisakan banyak persoalan yang memerlukan pemecahan segera, rasional, proporsional, adil, dan bijaksana. UU Guru dan Dosen (pasal 83) mengamanatkan selambat-lambatnya satu setengah tahun sejak berlakunya undang-undang ini (sekitar Juni/Juli 2007) semua peraturan pemerintah (PP) harus sudah selesai. Padahal, untuk guru saja, terdapat paling tidak 15 pasal yang mesti dibuatkan PP-nya yakni meliputi: kompetensi guru (pasal 10), sertifikasi pendidik (11), anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik (pasal 13), hak guru (pasal 14), tunjangan profesi guru (pasal 16), tunjangan khusus (pasal 18), maslahat tambahan (pasal 19), penugasan WNI sebagai guru dalam kedaan darurat (pasal 21), pola ikatan dinas bagi calon guru (pasal 22), pengangkatan dan penempatan guru pada satuan yang diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah (pasal 25), penempatan guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural (pasal 26), pemindahan guru (pasal 28), guru yang bertugas di daerah khusus (pasal 29), pemberian penghargaan (pasal 37), dan cuti (pasal 40). Hingga sekarang (Agustus 2007) belum ada satu pun PP tentang Guru, sesuai dengan amanat UU No. 14/2005 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Barulah sesudah Pengurus Besar PGRI mengeluarkan "Pernyataan PGRI" di Jakarta, pada tanggal 10 Mei 2007, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan (Permendiknas No. 18 tahun 2007). Kualifikasi Guru: Membaca Realita UU Guru dan Dosen (pasal 82 ayat 2) mewajibkan guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik untuk memenuhinya paling lama 10 tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Mungkinkah? Mari kita cermati data berikut ini. Berdasarkan data Depdiknas (2007) di atas, dari 2.245.952 guru di Indonesia lebih dari separuhnya (59%) tidak layak mengajar atau tidak memiliki kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan minimal seorang guru harus berijazah sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 1.330.566 orang, terdiri dari 135.344 guru TK, 953.511 guru SD, 5.507 guru SLB, 171.558 guru SMP, 31.645 guru SMA, dan 33.001 guru SMK. Konsekuensi logisnya, para guru tersebut mesti melanjutkan studi ke jenjang S-1/D-IV supaya memenuhi kualifikasi akademis. Tetapi, siapa yang akan membiayai studi mereka? Biaya sendiri? Apakah cukup biaya bagi setiap guru untuk melanjutkan studi lagi dengan kesejahteraan hidup mereka yang relatif minim? Biaya pemerintah? Adakah political will atau komitmen pemerintah untuk itu, setelah amanat UUD 1945 saja tidak diindahkan? Sertifikasi Guru: Jauh Panggang Dari Api Selanjutnya, sebagai tenaga profesional, guru membutuhkan pengakuan berupa bukti formal yang berbentuk sertifikat pendidik. Sertifikasi guru ini dikeluarkan oleh PT yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. PT yang dimaksud adalah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) baik eks IKIP, STKIP maupun FKIP di universitas-universitas. (RRI-Online, 25/01/2006, 19:04 WIB). Mungkinkah dalam sepuluh tahun ke depan LPTK yang ada (sesuai dengan amanat pasal 82 ayat (2) UU No.14/2005) mampu menuntaskan program sertifikasi pendidik bagi seluruh guru di Indonesia? Kalau dirata-ratakan berarti setiap tahunnya terdapat sekitar 260.000 guru yang wajib mengikuti uji kompetensi (yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Kapasitas LPTK negeri, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. (Kompas, 27/01/2006). Selama sepuluh tahun, paling hanya sanggup mensertifikasi sepertiganya. Artinya, duapertiga guru di seluruh Indonesia belum tersentuh program ini. Akibatnya, mereka tidak mempunyai sertifikat pendidik. Padahal sertifikat pendidik ini diperlukan guru untuk melaksanakan tugas keprofesionalannya, termasuk untuk memperoleh tunjangan profesi. Bahkan dalam renstra Ditjen PMPTK Depdiknas (2007) termaktub, bahwa baru pada tahun 2016 seluruh guru akan selesai menjalani proses sertifikasi dan sekaligus memperoleh tunjangan profesinya. Hal ini berarti tidak mengindahkan amanat yuridis formal UU No. 14/2005 (pasal 82 ayat 2) yang hanya memberi waktu selambat-lambatnya sepuluh tahun sejak berlakunya UU itu, atau tanggal 30 Desember 2015 sebagai deadline-nya. Pada gilirannya, seiring dengan tertunda-tundanya PP tentang Guru dan lambatnya progam sertifikasi guru yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tahun 2006 lalu, maka bagi sebagian terbesar guru Indonesia, sertifikasi guru ibarat jauh panggang dari api. Alih-alih memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan diperolehnya tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok, justru hanya penantian panjang yang berbuah kekecewaan yang akan diperoleh para guru. Isu-isu Aktual Dengan digulirkannya gerakan reformasi (1998) membawa 'angin segar' bagi iklim demokrasi di Indonesia, termasuk bidang pendidikan. Betapa tidak, selain diamandemennya pasal 31 UUD 1945, UU tentang Sisdiknas (UU No. 2/1989) karena sudah tidak sesuai lagi secara konstitusional pun diganti dan disempurnakan dengan UU No. 20/2003. Hal ini juga dibarengi dengan dikeluarkannya PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, termasuk di dalamnya standar guru sebagai pendidik dan tenaga pendidikan (Bab VI). Adapun profesi guru secara khusus (lex specialis) diatur dalam UU No. 14/2005, meskipun secara operasional menemui kendala dengan masih belum diterbitkannya PP tentang Guru. Dengan perangkat peraturan perundangan yang tersedia sesungguhnya pemerintah (Depdiknas) maupun stakeholder pendidikan lainnya dapat bergerak berlandaskan legimitasi ini dengan leluasa, mantap, dan tidak perlu gamang lagi, karena telah memeroleh payung hukum yang pasti. Namun, rupa-rupanya legalitas saja tidak cukup kalau tidak diimbangi dengan political will atau komitmen yang kuat guna mengejawantahkan aturan normatif tersebut. Ambil contoh, meskipun Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya Nomor 026/PUU/IV/2007 dalam sidang 1 Mei 2007 sudah menyatakan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 yang mencantumkan anggaran pendidikan sebesar 11,8% bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945, pemerintah tetap tidak bergeming dari pendiriannya itu dan belum berkehendak untuk mencapai angka 20%. Menurut Daoed Joesoef Selama ini pemerintah belum pernah eksplisit mengetengahkan angka 20 persen sebagai realisasi anggaran pendidikan minimal. Tidak ada uang? Nonsens. Kenyataan ada uang untuk kenaikan gaji menteri dan anggota DPR, Akuilah, yang tidak ada bukan uang, tetapi komitmen, kesungguhan mengakui signifikansi kerja pendidikan bagi masa depan bangsa. (Kompas, 25 Juli 2007: 7) Persoalan 20% anggaran pendidikan dari APBN/APBD ini adalah merupakan pemicu (trigger) utama isu-isu di dunia pendidikan kita. Karena dengan terpenuhinya minimal 20% dari APBN/APBD, maka beberapa persoalan mendasar (basic problem) yang mencuat selama ini, seperti: biaya operasional sekolah; buku paket pelajaran; biaya sekolah peserta didik; gedung sekolah beserta sarana dan prasarananya; tunjangan profesi guru (termasuk tunjangan fungsional, tunjangan khusus, maslahat tambahan, tunjangan daerah, dll.); beasiswa studi guru untuk melanjutkan ke jenjang S-1, S2, S3; sertifikasi guru; dan lain sebagainya akan mendapatkan solusi yang signifikan dan komprehensif. Sementara itu, para guru hendaknya dapat diposisikan sebagai tenaga profesional (sebagaimana pasal 39 ayat 1 UU No. 20/2003 dan pasal 1 angka 1 UU No. 14/2005). Dalam pengertian ini, maka adanya Ujian Nasional (UN) pada hakikatnya menggeser peran guru untuk melakukan evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran peserta didik. Padahal peran evaluasi tidak dapat dipisahkan (inherent) dari dua peran guru lainnya, yakni: merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran. Kemudian, berikut ini terdapat sejumlah persoalan lainnya yang muncul seiring dengan adanya reformasi pendidikan terhadap profesi guru: (1) Guru yang akan diikutsertakan dalam program sertifikasi adalah mereka yang jumlah mengajarnya adalah 24 jam tatap muka per minggu. Kalau aturan ini diberlakukan secara rigid, maka akan semakin banyak lagi guru yang tidak akan terjaring sertifikasi. Pada gilirannya, peserta didik kita akan dididik oleh guru-guru yang tidak layak mengajar. (2) Banyak guru, khususnya bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sesuai dengan Keputusan MenPAN No. 84/1993, harus diberhentikan dari jabatannya karena sudah lebih dari enam tahun sejak diangkat dalam jabatan terakhir tidak mampu mengumpulkan angka kredit minimal yang disyaratkan untuk kenaikan pangkat/jabatannya tersebut. Hal tersebut menimpa pada guru-guru dengan jabatan guru pembina (golongan/ruang, IV/a). Ini dikarenakan mereka terjegal karya tulis ilmiah (KTI). (3) Dengan adanya perubahan kurikulum menjadi KBK/KTSP yang menuntut otonomi sekolah maupun otonomi pedagogik guru tidak diimbangi dengan pemahaman dan keterampilan untuk menyusun kurikulum itu sendiri. Akibatnya, karena sudah terbiasa dengan budaya "juklak-juknis", maka KTSP Cuma berupa kumpulan "copy-paste". (4) Banyak guru, terutama guru honorer/tidak tetap baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang mendapatkan take home pay di bawah UMR (untuk provinsi Jawa Barat, UMR tahun 2006 adalah sebesar Rp. 447.654,-). Ini terjadi karena manajemen sekolah masih menganut paradigma lama penghonoran guru, yakni guru yang "mengajar sebulan dibayar seminggu" (bandingkan dengan dosen yang dibayar per tatap muka). (5) Perlindungan hukum terhadap profesi guru masih sangat lemah (baca: kasus 27 orang guru di Medan yang dipecat pihak sekolah karena melaporkan kecurangan pelaksanaan UN). Di sini, termasuk juga kepastian kerja guru honorer/tidak tetap yang labil/rawan "pemecatan" pihak manajemen sekolah. (6) Adanya pameo "pengetahuan guru dan siswa hanya berbeda satu malam", disebabkan oleh karena guru tidak mengimplementasikan "life long education" atau tidak terus menerus mengupdate ilmu-pengetahuannya, baik secara formal (kuliah lagi atau mengikuti diklat, penataran, seminar/lokakarya yang berkaitan dengan bidang tugasnya) maupun dengan mengakses sumber pembelajaran kontemporer, seperti: buku-buku, majalah, jurnal, surat kabar, atau internet. Hal ini karena guru masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan sembako untuk menghidupi keluarganya tinimbang membiayai hal-hal lainnya. (7) Peranan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru masih kurang diberdayakan oleh para stakeholder pendidikan di daerah. Penutup Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya bersertifikat pendidik. Dengan diperolehnya sertifikat pendidik, maka seorang guru berhak memperoleh tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Diharapkan dengan meningkatkan kesejahteraan guru ini akan diimbangi dengan peningkatan kinerja guru. Sebab para guru akan lebih terfokus pada tugas keprofesionalannya di satuan pendidikan/sekolahnya masing-masing dan tidak lagi menjadi "guru luar biasa" (=biasa di luar). Meskipun pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof DR Suwarma Al Muchtar SH MH menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional karena sertifikasi guru cederung pendekatan formalistis dan tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia (Republika Online, Jum`at, 16 Maret 2007, 16:27:00), tetapi paling tidak upaya pemerintah ini mampu menjadi semacam "penawar dahaga di kala haus" atau "setitik cahaya di tengah kegelapan". Artinya, merupakan sebuah angin segar perubahan guna mengangkat citra, harkat dan martabat guru. Realisasinya, tentu saja semua anak bangsa, seluruh elemen masyarakat, terutama komunitas pendidikan perlu mengawasi pelaksanaannya supaya tetap berada "di jalan yang benar" dan mengeliminasi terjadinya penyimpangan serta praktik KKN yang masih saja membudaya di NKRI ini. Daftar Bacaan Arief Achmad. (2002). "Profil Guru Pendidikan IPS yang Profesional". Buletin PPPG Tertulis, Edisi September 2002, 18-25. Daoed Joesoef. (2007). "Mempertaruhkan Masa Depan". Kompas (25 Juli 2007). Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Depdiknas. (2007). Bahan Rembug Nasional. Jakarta: Ditjen PMPTK-Depdiknas PB-PGRI. (2007). "Pernyataan PGRI, Jakarta 10 Mei 2007". Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan. Republika Online. RRI Online. Media Indonesia Online. Kompas Cyber Media. http://www.nakertrans.go.id

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis multidimensi yang melanda Indonesia belakangan memberi momentum terjadinya perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan, termasuk kehidupan pendidikan. Saat ini, krisis multidimensi pengaruhnya terhadap kehidupan pendidikan amat besar. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan daya dan dana pendidikan amat menurun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melibatkan masyarakat dan sekolah dalam mengelola pendidikan agar kualitas pendidikan tetap optimal. Tiga Strategi Pelaksanaan Pengikutsertaan Masyarakat Dalam Masalah Pendidikan di Indonesia: 1. Mengorganisasi sistem pemerintahan dalam administrasi dan keuangan. 2. Melaksanakan Manajemen Berbasiskan Sekolah. 3. Melaksanakan Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat. (Pongtulurun, 2002). Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan, diantaranya adalah: Hak dan Kewajiban Masyarakat, Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah daerah Pasal 10 UUSPN, Tanggung Jawab Pendanaan, Sumber dan Pengelolaan Dana Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan diatur dalam pasal 54 UUSPN. Tindak lanjut dari UU tersebut, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Keputuan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Berdasarkan Keputusan Mendiknas tersebut komite sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarkat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan (fungsi dan peran komite sekolah dan dewan pendidikan). 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian diatas maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu: - Bagaimanakah partisipasi masyarakat daerah dalam penyusunan kebijakan dan administrasi pendidikan? 1.3 Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut: - Agar kita dapat mengetahui partisipasi masyarakat daerah dalam penyusunan kebijakan dan administrasi pendidikan. II. PEMBAHASAN Krisis multidimensi yang melanda Indonesia belakangan memberi momentum terjadinya perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan, termasuk kehidupan pendidikan. Saat ini, krisis multidimensi pengaruhnya terhadap kehidupan pendidikan amat besar. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan daya dan dana pendidikan amat menurun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melibatkan masyarakat dan sekolah dalam mengelola pendidikan agar kualitas pendidikan tetap optimal. Diharapkan, dengan adanya keterlibatan masyarakat terhadap masalah pendidikan, mutu dan pemerataan pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan. Tiga Strategi Pelaksanaan Pengikutsertaan Masyarakat Dalam Masalah Pendidikan di Indonesia: 1. Mengorganisasi sistem pemerintahan dalam administrasi dan keuangan. 2. Melaksanakan Manajemen Berbasiskan Sekolah. 3. Melaksanakan Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat. (Pongtulurun, 2002) Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis. Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikani. (Supat, 2008) Struktur pendidikan kita diperluas dengan menambahkan tenaga pengajar, administrasi, spesialis, tenaga ketatausahaan, maka sistem sekolah kita menjadi birokratis. Garis pertanggung jawaban, aturan, rencana yang hirarki dan standar prosedur yang berkembang serta fungsi masing-masing anggota menjadi lebih spesifik (Selden, 1979:68). DASAR PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua-masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar pada kata-kata bijak itu. maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan, diantaranya adalah: 1) Hak dan Kewajiban Masyarakat Pada pasal 8 dan 9 UUSPN disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaiuasi program pendidikal Sedangkan Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat wajib memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. 2) Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah daerah Pasal 10 UUSPN menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah: wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamm terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, 2) wajib menjamin tersedianye daya guna dan terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. 3) Tanggung Jawab Pendanaan Pasal 46 UUSPN menyebutkan bahwa a) pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawa bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, b) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945. 4) Sumber dan Pengelolaan Dana Pendidikan Pasal 47 UUSPN menyebutkan bahwa a) sumber pendanaan pendidikan dibentuk berdasarkal prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan; b) Pemerintah. Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraaturan perundang-undangan yang beriaku. Sedangkan pasal 48 menyebutkan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. 5) Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan diatur dalam pasal 54 UUSPN, yaitu: a) Peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. b) Masyarakat dapat berperanserta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan Secara lebih spesifik, pada pasal 56 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa di masyarakat ada dewan pendidikan dan komite sekolah atau komite madrasah, yang berperan ; 1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. 2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan membenkan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. 3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan membenkan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat saruan pendidikan Salah satu pendekatan yang ada hubungannya dengan partisipasi menyatakan bahwa manusia mempunyai dinamika internal dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu dirinya dan untuk berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila dikembangkan melalui perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya. Selain itu, partisipasi juga disadari memiliki banyak arti. Partisipasi dapat berarti bahwa pembuat keputusan mengikutsertakan kelompok atau masyarakat luas terlibat dalam bentuk saran, pendapat, barang, keterampilan, bahan atau jasa. Partisipasi juga dapat berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan sendiri, membuat keputusan dan memecahkan permasalahan mereka sendiri. Dalam konteks partisipasi, Illich (1983) menyatakan bahwa rakyat biasa harus mampu bertanggungjawab atas kepentingan dan kesejahteraan sendiri. Oleh karena itu, rakyat harus diberi kesempatan untuk ikut bertanggungjawab dalam semua bidang kehidupan baik dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, perencanaan pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973) menyatakan bahwa elit pembuat keputusan harus menyadari pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Tolok ukur keotentikan pembangunan ialah apakah rakyat yang sebelumnya hanya diperlakukan sebagai obyek yang sekedar tahu dan melaksanakan, kini diajak untuk berpartisipasi sebagai subyek aktif yang sadar dan bertindak secara aktif dalam mencapai tujuan hidup sendiri. Bertitik tolak dari pandangan ini, pemahaman tentang konsep partisipasi perlu diperluas tidak hanya ditekankan dalam bentuk pemberian dana, barang sebagai masukan instrumental, melainkan perlu dikembangkan pula berbagai bentuk partisipasi lain seperti paritipasi dalam hal waktu, pemikiran dan gagasan, kepercayaan dan kemauan. PERAN SERTA MASYARAKAT MELALUI KOMITE SEKOLAH DAN DEWAN PENDIDIKAN Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (UU Sisdiknas pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah (Anwar,2003). Tindak lanjut dari UU tersebut, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Keputuan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Berdasarkan Keputusan Mendiknas tersebut, komite sekolah merupakan sebuah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah- jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Untuk penamaan badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Majelis Madrasah, atau nama-nama lain yang disepakati bersama. 1. Pemberdayaan Komite Sekolah Komite Sekolah yang berkedudukan di setiap satuan pendidikan, merupakan badan mandiri yang tidak memiliki hubungan hirarkis dengan lembaga pemerintahan. Komite sekolah dapat terdiri dari satuan pendidikan atau berupa satuan pendidikan dalam jenjang yang sama, atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang, tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelengsara pendidikan, atau karena pertimbangan lain. Adapun tujuan komite sekolah yaitu (1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; (2) meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; dan (3) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Peranserta masyarakat melalui Komite Sekolah memiliki posisi yang amat strategi dalam mengembangkan tanggung jawab masyarakat. Iklim demokratis dalam pengelolaan sekolah dicerminkan dalam peran serta masyarakat dalam hal-hal berikut: (a) membangun sikap kepemilikan sekolah, (b) merumuskan kebijakan sekolah, (c) membangun kesadaran mutu, (d) perhatian terhadap kehidupan akademik sekolah, (e) membangun tatakerja kelembagaan sekolah. Secara ringkas diuraikan sebagai berikut. - Membangun Sikap Kepemilikan Sekolah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu keutuhan entitas sistem. Di dalamnya terkandung desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. Sebagai satu institusi sosial, maka makna kewenangan pengambilan keputusan hendaknya dilihat dalam perspektif peran sekolah yang sesungguhnya, yaitu melayani anak didik agar mereka memperoleh layanan belajar sebaik-baiknya. Dalam upayanya memenuhi layanan belajar yang memuaskan, maka aspirasi masyarakat melalui komite sekolah diakomodasikan dalam berbagai kepentingan yang ditujukan pada peningkatan kinerja sekolah, antara lain direfleksikan pada rumusan visi, misi, tujusji de program-program prioritas sekolah. Dengan cara demikian, setiap sekolah akan memiliki ciri khasnya masing-masing yang direfleksikan dalam rumusan visi, misi, program prioriti dan sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam pengembangan sekolah. Karakteristik masing-masing sekolah dicerminkan pula dalam kondisi sarana dan prasarana pendidikan mutu sumber daya manusianya dan dukungan pembiayaan bagi pengembangan sekolah sesuai dengan aspirasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah (stakeholder). - Merumuskan Kebijakan Sekolah Dalam konteks pembangunan daerah, pendidikan seharusnya mampu memberikan respon yang tepat terhadap tuntutan pembangunan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Ini berarti, bahwa perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan pendidikan hendaknya memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah itu. Ini berarti bahwa dalan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah itu seperti orang tua dan masyarakat setempat, sepatutnya memiliki akses terhadap perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan untuk kepentingan memajukan sekolah. - Membangun Kesadaran Mutu Aspek penting dari peran serta masayarakat melalui komite sekolah adalah berkaitan dengan membangun sikap sadar mutu pendidikan pada masyarakat. Gerakan jaminan mutu dan akuntabilitas menenipatkan perlindungan atau jaminan bagi pelanggai dari produk dan barang serta layanan jasa yang merugikan. Istilah jaminan mutu (quality assurance) pada awalnya digunakan di lingkungan bisnis dan industri, dengan maksu( untuk menumbuhkan budaya peduli mutu. Jaminan mutu perlu dilakukan oleh perusahaan penghasil barang dan penyedia jasa untuk memberikan kepuasan kepada costume pemakainya. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan konsep jaminan mutu in temyata tidak hanya terbatas di lingkungan bisnis dan industri, tetapi juga dalam bidam penyelenggaraan pendidikan sejalan dengan munculnya gerakan akuntabilitas publik. - Perhatian Baru Terhadap Kehidupan Akademik Sekolah Melalui komite sekolah masyarakat diajak untuk ikut menaruh perhatian terhadap aspek akademik kehidupan sekolah, tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek kebutuhan finansial saja, tetapi termasuk pula pengembangan progran kurikulum sekolah, penggunaan sumber-sumber belajar, dan penciptaan sekolah yang nyaman. - Membangun Tata Kerja Kelembagaan Sekolah. Peran serta masyarakat sekolah melalui Komite Sekolah harus pula di arahkan padi penciptaan budaya kelembagaan baru dalam pengelolaan sekolah. 2. Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3). Sebagai institusi, kekuatan Dewan Pendidikan cukup tergantung pada kondisi pengurusnya. Ketua Dewan Pendidikan sebaiknya seorang tokoh/figur masyarakat yarg memiliki pengaruh, kredibilitas dan telah diakui integritas kepribadiannya. Ia tidak perlu seorang ahli pendidikan. Pemahaman yang baik terhadap pendidikan dimiliki oleh anggotta pengurus lainnya. Namun demikian, merupakan satu kepatutan apabila Ketua Dewan Pendidikan memiliki pemahaman yang baik tentang pendidikan dan peran strategi pendidikan dalam pembangunan daerah sebagai investasi sumber daya manusia (human investment). Dalam pengembangan program awal, dewan pendidikan dapat melakukan hal-hal berikut: (1) mengidentifikasi masalah pendidikan yang menjadi prioritas di daerah itu, (2) memahami posisi masalah dengan cara memiliki akses terhadap data/informasi, (3) menyusun program, dan (4) melakukan tindakan nyata (action). Dewan Pendidikan dapat mengembang-kan program-programnya secara lebih sistematis melalui kerjasama dan kolaborasi kemitraan dengan pemerintah daerah (Dinas Pendidikan). Hal penting lainnya bagi Dewan Pendidikan pada awal pembentukannya adalah melakukan sosialisasi di kalangan stakeholder pendidikan untuk memperoleh apresiasi dan dukungan. III. KESIMPULAN Tiga Strategi Pelaksanaan Pengikutsertaan Masyarakat Dalam Masalah Pendidikan di Indonesia: 1. Mengorganisasi sistem pemerintahan dalam administrasi dan keuangan. 2. Melaksanakan Manajemen Berbasiskan Sekolah. 3. Melaksanakan Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat. (Pongtulurun, 2002). Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan, diantaranya adalah: 1) Hak dan Kewajiban Masyarakat 2) Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah daerah Pasal 10 UUSPN 3) Tanggung Jawab Pendanaan 4) Sumber dan Pengelolaan Dana Pendidikan 5) Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan diatur dalam pasal 54 UUSPN Peran serta masyarakat melalui komite sekolah dan Dewan Pendidikan antara lain: a. Pemberdayaan Komite sekolah Adapun tujuan komite sekolah (1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan (2) Meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; dan (3) Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Peran serta masyarakat melalui komite sekolah sebagai berikut: - Membangun Sikap Kepemilikan Sekolah - Merumuskan Kebijakan Sekolah - Membangun Kesadaran Mutu - Perhatian Baru Terhadap Kehidupan Akademik Sekolah b. Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dalam pengembangan program awal, dewan pendidikan dapat melakukan hal-hal berikut: (1) mengidentifikasi masalah pendidikan yang menjadi prioritas di daerah itu, (2) memahami posisi masalah dengan cara memiliki akses terhadap data/informasi, (3) menyusun program, dan (4) melakukan tindakan nyata (action). Daftar Rujukan Arifin, Anwar,2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS. POKSI VI FPG DPR RI, 2003. Aris Pongtuluran & Theresia K.Brahim, 2002. Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat. Jurnal Pendidikan Penabur-No.01 Maret 2002. Universitas Negeri Jakarta David Selden, 1979. The Future of Community Participation in Educational Polici Making. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Supat, 2008. Administrasi Pendidikan Berbasis Teknologi dan Informasi. Makalah Pelatihan Jardiknas Probolinggo.

Cara Upload file pdf di blogger


Postingan ini sebagai respon dari pertanyaan kawan kita, tentang bagaimana menyisipkan file PDF dalam  posting 
Blogger. Ada trik untuk itu. Kita membutuhkan layanan dari pihak ketiga. Dalam hal ini saya memberi contoh  dengan 
 menggunakan layanan dari Scribd.com. Semoga ini  juga berguna bagi  para teman-teman. Silakan ikuti petunjuk 
dibawah ini :
1. Kunjungi website www.scribd.com
2. Klik Sign Up untuk mendaftar, Masukkan data diri Anda.
3. Masuk ke akun e-mail Anda. Buka e-mail dari Scribd berjudul "Verify your e-mail address", klik link yang
    tersedia dan loginlah
4. Pada Step 1 - Choose Documents to Upload, klik browse untuk memilih dokumen PDF Anda di komputer,
    Klik "Upload"
5. Pada halaman "Describe Your Document", isilah isian dari judul dokumen hingga keywordnya, klik "Save"
6. Selanjutnya pada halaman "Share Your Document", gulung halaman ke bawah, pada pilihan "Share This
    Document", klik button" Embed Code"
7. Masuk ke Akun Blogger Anda.
8. Klik "Buat Entri", klik Tab "Edit HTML", masukkan kode dari Scribd tadi dengan menekan Ctrl + V
9. Hasilnya, dokumen PDF Anda akan termuat dalam postingan Blogger Anda. Anda tinggal menerbitkan
entri/postingan Anda. 
Awalnya anda pasti binggung nanti udah terbiasa terasa gampang-gampang susah. silakan dicoba
Semoga Berhasil...